Dia memandang titik jauh. Gulita membayang di retinanya. Namun,
pandangannya tak bergeming. Masih terpaku pada langit yang bergelung dengan
kegelapan.
“Kau menungguku gadis kecil?” suara serak terdengar. Satu sosok
lelaki tua muncul. Wajahnya putih pucat dan langkah kakinya ringkih tanpa
tenaga.
“Aku bukan gadis kecil lagi,” jawab Dia tertawa.
Lelaki tua tak menjawab. Ia meletakkan badannya pelan-pelan
di atas batu hitam. Berhadapan dengan Dia yang berdiri menatap ujung langit
malam.
Baca edisi sebelumnya DIALOG SEMU
“Mengapa kau kembali, anakku?” tanya lelaki tua dengan
lembut.
Dia hanya mengangkat bahu sambil tersenyum. Pandangannya tertuju
pada ujung kaki yang mengais-ngais tanah. Menimbulkan cerukan kecil di
sekeliling kaki kanan Dia.
“Kau ingin mengambilnya kembali?” kembali lelaki tua
bertanya.
Dia menggeleng. Wajahnya menampilkan senyum yang terkembang,
“Aku sudah meninggalkannya di sini. Aku membuka tanganku dan meminta angin
untuk membawanya pergi.”
“Kau memang melepasnya saat itu. Seiring waktu kau raih
bintang-bintang yang kau inginkan. Tetapi, kau juga membuat mimpimu menjadi
sebuah rumah. Rumah yang selalu kau buka pintunya setiap kali kau kehilangan
bintang-bintangmu.”
Dia menutup mata alih-alih menjawab ucapan lelaki tua. Membiarkan
angin mengalir pada permukaan wajahnya yang mulai memucat. Lelaki tua
membiarkan Dia bermain dengan pemikirannya sendiri.
RUMINASI ADALAH
mengingat hal yang membuat stres secara berulang-ulang dan terus-menerus
“Anakku... “ Lelaki tua memanggil Dia pelan. Dia membuka mata dan menatap
lelaki tua dengan sayu.
“Apa yang kau rasakan saat ini?” pandangan lelaki tua
menghujam mata Dia.
“Aku nyaman bersama mimpiku,” Jawab Dia tertawa sambil nanar
menatap langit. “Kau benar, dia seperti rumah bagiku. Tempatku pulang saat letih
dan memerlukan bantuan.”
“Kau tidak benar-benar melepasnya, anakku,” tegas lelaki tua
pada Dia.
Dia menghela nafas dan menghembusnya dengan pelan. “Aku sudah meminta bantuan waktu untuk melepasnya. Aku sudah
meminta bantuan angin untuk meniupnya dari genggaman tangan. Aku sudah
melangkah jauh dan meletakkan bintang-bintang di langit harapan.”
“Lalu?”
“Ada kalanya aku merasa sendiri,” suara Dia melemah.
“Lalu, kau kembali pada mimpimu dan menungguku di tempat
ini,” cibir lelaki tua.
Dia tertawa lepas. “Aku tidak menunggumu, sungguh. Aku kesini
hanya ingin mencari jawaban.”
“Aku adalah jawabanmu?” Lelaki tua terbahak mendengar
jawaban Dia. Setetes air muncul di ujung kelopak matanya akibat tawa yang keras
dan tak kunjung berhenti. Dia hanya tersenyum merespon tawa sang lelaki tua.
“Anakku,” lelaki tua menatap Dia lembut. “Jawaban apa yang
kau inginkan?”
Dia tak menjawab, hanya balas tertawa mendengar pertanyaan lelaki
tua.
“Ini sudah kalender kesepuluh sejak kau meninggalkan tempat
ini. Jangan bermain-main lagi. Belajarlah membuat keputusan dan segera
melakukannya.”
Dia mengangguk.
“Kau tahu tentang pilihanmu?” desak lelaki tua pada Dia.
“Ya, aku tahu. Aku harus memilih, membuat mimpiku menjadi
rumah yang sesungguhnya atau menutup pintu itu selamanya, begitu kan?” Dia
memastikan pemikirannya pada lelaki tua.
Lelaki tua mengangguk dan tersenyum. “Jangan membuang-buang
waktu.”
“Apa kembali pada mimpiku adalah kesalahan?” tanya Dia
tiba-tiba.
“Kau benar-benar ingin kembali? Membuat mimpimu menjadi
rumah yang sesungguhnya?” lelaki tua memastikan pertanyaan Dia.
Dia tertawa. “Aku tidak tahu. Aku akan berusaha pergi dan melangkah
lagi. Tetapi jika nanti, aku masih menginginkan mimpi itu. Apa yang harus aku
lakukan?”
“Bertanyalah pada hatimu, anakku. Bukan kembali ke tempat
ini atau menunggu jawaban dariku,” ucap lelaki tua tegas.
“Baiklah,” jawab Dia tersenyum pada lelaki tua.
“Kau tahu, kenapa aku melarangmu kembali ke tempat ini?” Dia
menggeleng. “Karena kenangan adalah ilusi. Bayangan semu. Kau akan kecewa jika
memutuskan hanya berdasarkan kenangan.” Lelaki tua menggeleng-gelengkan
kepalanya pada Dia.
“Jangan membuat kesalahan dengan membuka kenangan dan
menginginkannya kembali. Sekalipun kenangan itu bersifat manis bagimu. Teruslah
berjalan. Tetapi, menggapai mimpi lamamu bukanlah kesalahan. Jika itu adalah
mimpi yang benar-benar kau inginkan, raihlah dengan hati. Bukan dengan
mendatangi kenanganmu.” lanjut lelaki tua.
Senyum Dia mengembang, langkahnya ringan mendatangi lelaki
tua. “Terima kasih sudah mendatangiku kembali di sini,” kata Dia pada lelaki
tua.
“Bertanyalah pada hatimu. Apakah benar-benar mimpimu atau
hanya penawar hati karena kau merasa sepi dan sendiri.” Lelaki tua memandang
Dia yang berjongkok dihadapannya.
Dia tertawa mendengar ucapan terakhir lelaki tua. “Ya, kau
benar. Aku harus segera memastikan dan mengakui apa yang benar-benar aku
inginkan. Lalu, menerima apa yang sudah ditetapkan. Jadi, sekarang aku pamit
untuk pergi.” Dia menangkupkan kedua tangan di dada dan menundukkan kepala.
“Pergilah, anakku. Lepaskan beban dan temukan kebahagianmu.”
Perintah lelaki tua pada Dia.
Dia berdiri. Sebelum berbalik, Dia kembali tersenyum mengangguk
pada lelaki tua. Setelah itu, Dia melangkah pergi. Sosoknya perlahan menghilang
dalam kegelapan. Meninggalkan lelaki tua bersama alam.
Terkadang ruminasi ini datang dan pergi sesuka hati dan bikin stress dan bingung cara menghilangkan pikiran tsb bagaimana ya kak..
ReplyDeleteAkhirnya bisa baca komentarnya, hehehe. Kemarin-kemarin muncul tetapi gak bisa dibaca.
DeleteIya mbak, betul. Menumpuk dengan kenangan baru yang lebih bahagia, katanya begitu mbak, hehehe.
Cerita pendek yang memikat ...
ReplyDeleteKeren.
Terus berkarya, kak.
Terima kasih, kak. Terus berkarya juga buat kak Himawan, Semangat!!
Deletesemoga semua beban dihilangkan
ReplyDeleteAamiin, terima kasih kak...
DeleteNamun kadang kenangan meski ilusi menjadi bagian kebahagian kita
ReplyDeleteKomentar yang yahud bang, hehehe. Menjadi menusia dengan kenangannya karena kehampaan sebenarnya adalah ketika tidak memiliki kenangan.
DeleteTidak ada cara untuk melupakan kenangan pahit, mencoba lupa justru semakin sakit. Peluklah, terima semua kenangan yang ada dan jadikan semuanya menjadi perjalanan menuju kedewasaan kita. Cerita yang memukau mba.
ReplyDeleteSetuju. Menolak kenangan pahit justru membuat kita akan semakin sakit. Lebih baik jika bisa menerima dan berdamai dengan masa lalu, hehehe. Terima kasih..
Delete