Lelaki tua tersenyum, “Anakku…kau tahu arti dari sebuah tanda Tanya, disanalah seharusnya kau bersinggasana. Ada waktunya kau harus berjalan memutar, lurus, atau diam pada satu titik keadaan. Tak layak kau memerahkan mata dengan bayangan. Bayangan itu hanya kesemuan, terlalu absurd tuk kau pahami.”
Dia meneruskan ceritanya. “Seperti senja merayu bulan, hitam dan putih tak bisa kelabu. Seiring waktu, jari terus menenun, tapi tinta tak pernah mau mencumbu. Karya tak pernah tercipta, seperti yang tertulis di lembar usang memoriku.” Kemudian lelaki tua berdiri memandang aliran angin yang membelai wajahnya, kusut. Ada getir dihatinya.
“Kau terlalu muda untuk mengerti, anakku. Jangan pernah mengotori hatimu dengan rayu, samudra dari tetes suci kelopakmu sangat berharga. Bukan untuk siapa-siapa tapi untuk dirimu sendiri.”
“Aku terbelenggu,” dia mengucap lirih.
“Itu hanya kata hatimu, bukan laku yang harus kau sesali. Bukankah matahari tak pernah merasa terbelenggu karena harus menyinari bumi setiap hari.”
“Aku...” dia menahan sesak yang menyeruak, airmata mengalir perlahan dipipimya.
“Aku tak tahu, aku bingung, aku lelah, aku ingin tenang, itu saja,” dia tergugu, badannya bergetar, sepuluh jari menutupi wajahnya yang basah dengan airmata.
“Tumpahkan semuanya di sini, anakku. Kepada alam. Biarkan mereka mendengar dan merasakan hatimu.” Lelaki tua menatap dia lembut, tak rela melihatnya berurai air mata.
“Setelah itu tinggalkan juga semuanya disini, jangan kau bawa. Raga dan jiwamu terlalu berat menahan beban, kau harus bisa bertahan. Berjalan melewati kegelapanmu, jangan pernah menoleh sebelum kau yakin, kau tak akan kembali kesini untuk menanam airmata lagi.”
“Aku tak bisa,” ucap dia tertahan.
“Kenapa?”
“Itu mimpiku, dia menunuduk, membiarkan lelaki tua menatapnya lebih dalam.
“Kau takut tidak bermimpi lagi?”
Dia hanya mengangguk pelan. Lelaki tua mendesah, menarik nafas panjang, melempar matanya ke penjuru malam.
“Dulu, aku sama sepertimu, disini. Membuang marah dan kecewa. Aku sama sepertimu…terbelenggu. Mimpi yang susah payah ku hidupkan.”
Matanya nanar menatap langit kelam. Lelaki tua terdiam.
“Lalu?,” wajah dia tegak, menatap lelaki tua. Menunggu cerita.
“Aku takut melepasnya, aku tak berani membuat mimpi baru. Ku genggam mimpi itu lebih erat, lebih erat. Merelakan diri terbelenggu, hingga saat ini.”
“Kau?” dia tertegun, menatap lelaki tua tak mengerti.
“Aku transformasi hari esokmu. Lihat aku…kau mau sepertiku? Pucat, tak ada sinar. Renta dalam kesendirian. Tertekan keadaan.”
Dia membuang wajahnya dari lelaki tua, merengkuh diri, mencari jawaban di hati.
“Lihat aku, anakku!” lelaki tua bergemeretak. Nanar menatap dia.
Dia kembali tergugu, “Aku…” dia tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
“Kau tidak mau, bukan?” cibir lelaki tua.
Dia tak menjawab, airmatanya terus mengalir, kelelahan tergambar diwajahnya yang mulai memucat.
“Tentu!” Tegas lelaki tua, kembali memandang kelam, gulita malam. Kemudian nadanya melembut, pelan.
“Kau butuh waktu, melepasnya. Jangan kau genggam. Bukalah. Relakan angin membawa. Sedikit demi sedikit. Hingga tak tersisa pada telapak tanganmu.”
“Aku bisa?” tanya dia pelan.
“Ya…kau pasti bisa”
Lelaki tua terrsenyum, “Jangan kau rasakan. Biar jiwamu yang memulai. Mengikuti tarian alam. Melukis bayangan baru, merangkai mimpi kembali. Dalam hidupmu.”
Dia tersenyum enggan, “Kapan itu?”
“Sekarang!” ucap lelaki tua pasti.
“Tak mungkin!”
Dia mengucap keras, mencibir, menahan marah dan kecewa.
“Mungkin kalau kau mau memulainya. Saat ini. Ditempat ini.” lelaki tua kembali menatap dalam pada dia.
“Tapi...” dia menatap ragu pada lelaki tua.
“Kau masih ragu?” dia mengangguk.
Lelaki tua tertawa renyah, melanjutkan, “Anakku, kau masih muda, jangan berhenti disini. Banyak hal yang belum kau ketahui, kau pasti bisa buat dirimu bersinar seperti bintang itu” tunjuk lelaki tua pada satu kedip bintang di langit.
“Aku tahu,” ucap dia pelan.
“Lalu? Apalagi yang kau tunggu, jangan sampai terlambat. Kau tak mau sepertiku bukan?”
Dia diam, tatapan matanya kuyu. Menjelajahi gulita malam. Menelusuri kembali rasa yang menggelayuti jiwa, pengisi warna hidup selama ini. Dia menarik nafas panjang. Menghirup udara, menyegarkan benang-benang kusut dijiwanya. Lelaki tua menyulut rokok yang tersisa. Membiarkan dia sendiri menyelami dirinya, mencari jawaban.
Malam semakin sunyi. Keduanya berbincang dalam diam.
“Baiklah.”
Terdengar jelas di telinga lelaki tua. Lelaki tua menoleh. Meminta kepastian di kedua bola mata dia. Dia tersenyum manis. Mengangguk. Kemudian menatap langit. Menempatkan diri pada deretan bintang-bintang malam. Lelaki tua tersenyum, lalu perlahan menghilang bersama bayangan. Meninggalkan dia bersama alam.
BT, 170309
08.57 AM
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~