"Plung………." Terdengar suara batu yang menyentuh air. Ku ambil sekali lagi batu yang lebih besar. Byuur……..
"Kau masih ingin di sini?". Sebuah suara berat mengagetkanku.
"Sekarang masih belum sore, ijinkan aku di sini beberapa saat lagi," pintaku lirih.
"Jangan menunggu matahari tenggelam, kau akan kesulitan berjalan." Lek Cokro menjawab sambil berlalu pergi menuju sapi-sapinya. Aku hanya mengangguk samar, toh Lek Cokro tidak akan melihatku.
 |
Sumber : www.gocelebes.com |
Aku kembali memandangi danau, airnya tenang, setenang hatiku saat ini. "Hmm……….." aku menarik nafas panjang, ku lihat Lek Cokro masih asyik memandikan sapi-sapinya. Caranya memandikan sapi-sapi itu mengingatkanku pada Mbah Joyo. Mbah Joyo adalah kakek dari ayahku, yang juga ayah Lek Cokro. Rumah Mbah Joyo ada di sebelah barat danau, bersebelahan dengan rumah Lek Cokro. Sebelum Mbah Joyo meninggal dua tahun yang lalu, setiap liburan aku pasti ke sini. Selain kangen pada Mbah Joyo, aku juga kangen pada danau ini. Jika dilihat dari jalan diatas sana, pemandangan danau ini sangat indah, dikelilingi tebing yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Beberapa meter di atas danau terdapat mata air yang jernih dan menyegarkan. Oleh masyarakat desa mata air tersebut dijadikan sebagai sumber kehidupan karena daerah ini termasuk daerah yang kesulitan air.