MASIGNASUKAv102
6861843026328741944

SENJA

SENJA
Add Comments
2007-03-08

"Plung………." Terdengar suara batu yang menyentuh air. Ku ambil sekali lagi batu yang lebih besar. Byuur……..
"Kau masih ingin di sini?". Sebuah suara berat mengagetkanku.
"Sekarang masih belum sore, ijinkan aku di sini beberapa saat lagi," pintaku lirih.
"Jangan menunggu matahari tenggelam, kau akan kesulitan berjalan." Lek Cokro menjawab sambil berlalu pergi menuju sapi-sapinya. Aku hanya mengangguk samar, toh Lek Cokro tidak akan melihatku.

Sumber : www.gocelebes.com
Aku kembali memandangi danau, airnya tenang, setenang hatiku saat ini. "Hmm……….." aku menarik nafas panjang, ku lihat Lek Cokro masih asyik memandikan sapi-sapinya. Caranya memandikan sapi-sapi itu mengingatkanku pada Mbah Joyo. Mbah Joyo adalah kakek dari ayahku, yang juga ayah Lek Cokro. Rumah Mbah Joyo ada di sebelah barat danau, bersebelahan dengan rumah Lek Cokro. Sebelum Mbah Joyo meninggal dua tahun yang lalu, setiap liburan aku pasti ke sini. Selain kangen pada Mbah Joyo, aku juga kangen pada danau ini. Jika dilihat dari jalan diatas sana, pemandangan danau ini sangat indah, dikelilingi tebing yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Beberapa meter di atas danau terdapat mata air yang jernih dan menyegarkan. Oleh masyarakat desa mata air tersebut dijadikan sebagai sumber kehidupan karena daerah ini termasuk daerah yang kesulitan air.


Waktu aku kecil, aku, Rado, dan Balu sering ke mata air itu. Setiap pagi kami selalu mandi di sana walaupun setelah sampai rumah badan kembali kotor. Maklum jarak dari mata air ke rumah sangat jauh, jalannya menanjak dan berbatu sehingga kami selalu beristirahat di tengah perjalanan. Tak ayal setelah sampai rumah, Lek Naos memarahi kami dan memandikan kami kembali dengan air hujan yang ditampung di bak depan rumah. Lek Naos adalah istri Lek Cokro serta ibu Rado dan Balu. Aku juga sering menemani Mbah Joyo memandikan sapi-sapinya di danau ini, sama seperti yang dilakukan Lek Cokro sekarang. Ketika Mbah Joyo memandikan sapi-sapinya, aku berjalan-jalan di pinggir danau. Kadang-kadang kalau ada orang yang menangkap ikan, aku minta ijin Mbah Joyo untuk ikut dengan mereka. Kami mencari ikan hingga ke tengah danau dengan menumpangi getek, yaitu batang bambu yang ditata menyerupai meja tanpa kaki kemudian diikat, panjangnya 7m dan lebarnya 5m. Aku sangat senang jika sudah sampai ke tengah danau, anginnya yang sepoi-sepoi bisa membuatku tertidur di atas getek. Aku tersenyum sendiri mengingat kenangan semasa kecil.

Bosan melihat Lek Cokro memandikan sapi, aku berdiri dan menyusuri tepi danau, merasakan hembusan angin yang mengibarkan rambut kesayanganku.
"Namira……." suara Lek Cokro menghentikan langkahku, "Jangan berjalan lebih jauh lagi hari sudah mulai sore, berhati-hatilah." Lek Cokro mengingatkanku.
"Iya Lek, aku hanya ingin duduk di bawah pohon itu" teriakku menunjuk pada sebongkah batu besar yang diam di bawah sebatang pohon besar. Walaupun sejak kecil aku sering ikut Mbah Joyo memandikan sapi-sapinya di danau ini, tetap saja Lek Cokro mengkhawatirkan keselamatanku. Daerah ini memang sepi dan di tumbuhi pohon-pohon besar sehingga tak terlihat dari jalan desa di atas sana. Kemudian aku duduk di atas batu besar yang ku maksud dan menikmati suasana di tepi danau.

Aku teringat bagaimana liburan semester ini, aku lebih memilih berlibur di desa kelahiran ayah daripada pulang ke rumah. Sebenarnya aku sudah merencanakan untuk berlibur di rumah tapi kejadian sore itu membuatku membatalkan liburan di rumah dan memilih berlibur di sini.
"Namira…."
"Hei………" aku tersenyum ke arah Ayas yang berjalan ke arahku.
"Bagaimana ujianmu?"
"Baik, sepertinya lebih baik dari semester kemarin, kau sendiri?" aku balik bertanya pada Ayas yang berjalan di sampingku menuju pintu keluar kampus.
"Beres" jawab Ayas sambil mengacungkan dua jempolnya. "Kamu ada acara hari ini?" tanya Ayas menghentikan langkahnya.
"Tidak, kenapa?, perlu bantuanku?" jawabku tersenyum soalnya dia memang sering meminta tolong padaku.
"Tahu saja kalau aku butuh bantuan." Ayas tertawa mendengar perkataanku. "Aku minta kau menemaniku ke taman kota, biasa refreshing setelah ujian, mau kan? please……" ujarnya memelas.
"Hm…..baiklah, tapi jangan lama-lama ya….."
"Ok, ayo kita berangkat sekarang." Ayas berjalan mendahuluiku menuju tempat parkir kemudian kami meluncur ke taman kota dengan Kharisma-Xnya.

Suasana tidak terlalu ramai di taman kota mungkin karena jam masih menunjukkan pukul 15.00 WIB, biasanya taman kota ramai di atas pukul 16.00 WIB. Kami memilih duduk di bangku panjang yang berhadapan dengan kolam ikan. Aku duduk sambil meletakkan tas di sebelahku. Ayas berjongkok di kolam dan mengganggu ikan-ikan dengan mengobok-obok airnya.
"Nami…." panggil Ayas sambil berjalan ke arahku.
"Ya, ada apa?" jawabku sambil memandang wajah Ayas yang duduk di sampingku. "Kau ada masalah?"
"Tidak."
"Kenapa wajahmu gelisah?, ceritakan saja kalau kau memang ada masalah, aku bersedia mendengarnya."
"Kau tidak akan marah kalau aku mengatakannya?"
"Apa yang akan kau katakan sampai aku marah?" aku balik bertanya pada Ayas.
"Kau benar-benar tidak akan marah kalau aku mengatakannya?" tanya Ayas memastikan.
"Tidak, katakan saja, aku siap mendengar apapun yang kau katakan."
"Baiklah." Ayas menarik nafas panjang. "Boleh aku menggangu ketenanganmu selama ini?" tanya Ayas tiba-tiba seraya menatap kolam ikan.
"Ketenangan….maksudmu apa?" aku bingung dengan pertanyaan Ayas.
"Aku tahu, selama ini kau sudah merasa tenang menjalani kehidupanmu. Keluarga yang mendukung, teman-teman yang selalu membantu dan lingkungan yang sangat potensial untuk mewujudkan harapan-harapan yang pernah kau katakan kepadaku." Aku diam saja mendengar perkataan Ayas.
"Aku hanya ingin minta ijin untuk menemanimu mewujudkan harapan-harapan itu dan menjalankannya bersama. Aku ingin ketenangan itu dapat kita nikmati bersama." Aku masih diam mendengar perkataan Ayas, "Kau mengerti apa yang ku maksud Nami?"
"Ya" jawabku pendek.
"Kau tak perlu menjawabnya sekarang, aku tahu kau tak akan memutuskannya begitu saja. Aku tunggu jawabanmu setelah kita masuk kuliah dua minggu lagi. Kamu bisa menjawabnya kan?" tanya Ayas menoleh kepadaku.
"Tentu saja." Ku harap aku betul-betul bisa menjawabnya, ujarku dalam hati.

Kemudian kami diam, bermain bersama pikiran masing-masing. Ku lihat taman sudah mulai ramai, arloji di tangan kiriku menunjukkan pukul 16.15 WIB.
"Kau masih ingin disini?" tanyaku pada Ayas yang asyik dengan Handphonenya.
"Kalau kau ingin pulang, kita pulang sekarang."
Tanpa menjawab aku beranjak berdiri dan berjalan ke arah parkir. Ayas mengikutiku dari belakang. Kami pun pulang dan senja itu merupakan senja pertamaku dalam kebingungan.

Sesampai di kos aku merebahkan tubuhku di ranjang. Aku masih bingung tentang jawaban yang akan aku berikan pada Ayas. Aku kenal Ayas sejak semester pertama, berarti sudah hampir dua tahun aku mengenalnya. Aku dan Ayas bertemu di perpus, kebetulan saat itu aku sedang mengerjakan tugas dengan Bella, teman sekelasku. Karena masih baru kami tidak tahu bagaimana mencari buku di katalog perpus. Kami berdua bingung akhirnya Ayas datang membantu, dia bilang kasihan melihat kami kebingungan. Setelah keluar dari perpus, aku dan Bella bertemu lagi dengan Ayas, karena rumahnya searah denganku, Ayas mengajakku pulang bersama dan sejak saat itu kami dekat. Ayas selalu menemuiku jika ada kesulitan, baik masalah kuliah ataupun yang lain, aku pun membantu sebisa mungkin, begitu juga sebaliknya, jika aku ada kesulitan Ayas membantuku sebisanya. Kami pun sering pulang bersama walaupun kami berbeda jurusan dan letak gedung perkuliahannya berjauhan.

Aku tidak tahu jika pada akhirnya Ayas akan mengatakan hal itu kepadaku. Selama ini aku menganggap Ayas sebagai seorang sahabat. Aku betul-betul bingung saat ini. Akhirnya ku ambil sebuah novel dan membacanya. Belum satu menit aku membaca, kata-kata Ayas kembali terngiang di telingaku. Aku pun berdiri dan keluar kamar. Suasana kos sangat sepi, teman-teman sudah pulang kampung semua. Aku berencana pulang besok pagi karena malam ini aku sudah berjanji pada Nency untuk menemaninya siaran di radio.

Aku menyalakan TV dan menonton acara musik kita. Aku sangat suka musik dan penggemar berat acara musik kita tapi hari ini aku benar-benar tidak bisa menikmatinya. Pikiranku selalu teringat pada Ayas dan apa yang akan aku katakan nanti sebagai jawaban. Ku ambil Nokia 6600 dan melihat daftar nama di phonebookku, siapa tahu ada yang bisa membantuku. Ketika sampai pada huruf B, ku lihat nama Balu tertera di situ. Balu seumuran denganku tapi dia tidak melanjutkan kuliah dan memilih bekerja di perkebunan teh. Apa kabarnya dia sekarang?, sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku merasa kangen padanya, juga pada Rado, Lek Naos dan Lek Cokro. Tiba-tiba terlintas di kepalaku untuk berlibur di tempat Lek Cokro, selain kangen pada mereka, aku juga kangen menikmati suasana danau. Sejak Mbah Joyo meninggal, aku jarang ke sana. Mungkin di sana aku akan mendapatkan ketenangan dan menemukan jawaban untuk Ayas.

Aku mematikan TV dan menuju meja telpon, ku pencet nomer yang sudah di luar kepala.
"Hallo" terdengar suara serak di seberang.
"Yah, ini Nami."
"Kapan pulang, Nak?"
"Nami ndak jadi liburan di rumah, Nami kangen sama Balu, boleh Nami liburan di tempat Lek Cokro, Yah?" aku berdoa dalam hati agar Ayah mengijinkan.
"Ndak pulang ke rumah dulu Nak?"
"Ndak Yah, rencananya Nami besok berangkat ke sana?"
"Kalau Nami maunya seperti itu, Ayah ngijinin. Hati-hati di jalan dan salam dari Ayah buat Lek Cokro sekeluarga."
"Terima kasih, Yah." Ku letakkan gagang telpon dan bergegas ke kamar untuk menyiapkan keberangkatanku besok. Beberapa potong baju ku masukkan ke dalam ransel. Nanti malam aku akan meminta Nency menemani membeli oleh-oleh buat Lek Cokro sekeluarga. Ku buka dompet dan menghitung sisa uang, cukup untuk membeli oleh-oleh dan perjalanan ke rumah Lek Cokro. Hari sudah mulai gelap, aku pergi mandi dan bersiap-siap menunggu Nency menjemput.

Esok paginya aku berangkat ke tempat Lek Cokro dengan bus, tengah hari aku baru sampai dan di sambut dengan baik oleh Lek Cokro sekeluarga. Sejak hari itu sampai saat ini, setiap sore aku selalu pergi ke danau menemani Lek Cokro memandikan sapi-sapinya. Dan hari ini adalah hari terakhirku di sini, besok aku harus kembali ke Malang karena lusa kuliahku di mulai.
"Namira, sebentar lagi matahari tenggelam sebaiknya kita pulang sekarang." Lek Cokro tiba-tiba sudah ada di sebelahku.
"Baik Lek." Aku berdiri dan mengikuti Lek Cokro yang menuntun sapi-sapinya. Hari ini aku sudah siap meninggalkan danau yang telah memberikan ketenangan padaku dan tentu saja siap untuk memberikan jawaban pada Ayas lusa nanti.
Qudsi Falkhi

Teacher who loves books and traveling, contact me --> falkhi@gmail.com