Suku Tengger merupakan masyarakat yang tinggal di kawasan
pegunungan Bromo. Menurut sejarah, suku Tengger adalah keturunan dari para
pengungsi kerajaan Majapahit yang melarikan diri karena adanya ekspansi dari
kerajaan Islam. Melarikan diri dan terisolasi di daerah pegunungan membuat
budaya masyarakat Tengger berbeda dari wilayah sekitarnya. Seperti bahasa,
kalender, dan aneka ragam tradisi adat yang masih dipegang teguh oleh keturunan
suku Tengger hingga saat ini.
Wilayah Wonokerso berada hampir di puncak wilayah Sumber, berdekatan dengan wisata B29. Jadi bisa dibayangkan bagaimana jarak perjalanan yang akan ditempuh. Saya mulai mengajak teman dan saudara untuk ikut, namun tak disangka. Semua yang saya ajak tidak bisa menemani tepat pada hari H. Saya terpaksa berangkat sendiri dengan sepeda motor. Hiks.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya saya sampai pada si empu undangan. Saat masuk ruang tamu, saya langsung menghadapi aneka sajian kue dan minuman yang tertata rapi di meja ruang tamu. Tidak hanya itu, sajian aneka lauk juga memenuhi meja makan. Saya pun takjub dengan banyaknya makanan yang disajikan.
Salah satu tradisi adat yang dilestarikan adalah Karo. Karo
merupakan hari raya adat suku Tengger yang dilaksanakan pada bulan kedua (bulan
karo) kalender Tengger. Tepatnya dua bulan setelah hari Yadnya Kasada. Bedanya hari
raya Karo tidak dilaksanakan bersama-sama oleh suku Tengger seperti halnya
Kasada. Melainkan berbeda untuk setiap desa suku Tengger. Menyesuaikan dengan
hitungan hari masing-masing desa.
Karo dilakukan sebagai bentuk ucapan terima kasih suku
Tengger kepada sang kuasa atas kesuburan
tanah dan hasil panen yang melimpah. Pelaksanaannya berlangsung selama satu
minggu. Hari pertama ditandai dengan berkumpulnya warga suku Tengger di balai
desa dengan membawa sesaji dan kirab sodoran. Sodoran merupakan tarian yang
menggambarkan penciptaan benih laki-laki dan perempuan di jagat raya.
Namanya ucapan syukur, maka hari raya karo selalu disambut
meriah oleh masyarakat Tengger. Caranya dengan menghias rumah dan sepanjang
jalan desa dengan umbul-umbul. Tidak hanya itu, layaknya lebaran dan hari
natal, masyarakat suku tengger berbondong-bondong belanja dan membuat open
house di rumah masing-masing. Open house ini tidak hanya dikhususkan pada warga
Tengger lho, tetapi juga masyarakat luar yang masih memiliki ikatan keluarga,
pertemanan, atau mungkin baru kenal.
Ya, pada hari raya Karo masyarakat suku Tengger tak segan
mengundang kerabat, teman, dan kenalan untuk berkunjung ke rumahnya. Undangan
biasanya disampaikan secara lisan dan diberitahukan sejak jauh-jauh hari.
Seperti yang saya alami. Tahun ini saya mendapat undangan karo dari siswa yang
pernah tinggal bersama, namanya Dwi.
Dwi merupakan suku Tengger yang tinggal di wilayah
Wonokerso, kecamatan Sumber, Probolinggo. Jauh-jauh hari dia memberitahukan
bahwa Karo dimulai pada tanggal 29 Agustus 2018. Karena hari aktif, maka saya
niatkan untuk datang pada hari minggu.
Wilayah Wonokerso berada hampir di puncak wilayah Sumber, berdekatan dengan wisata B29. Jadi bisa dibayangkan bagaimana jarak perjalanan yang akan ditempuh. Saya mulai mengajak teman dan saudara untuk ikut, namun tak disangka. Semua yang saya ajak tidak bisa menemani tepat pada hari H. Saya terpaksa berangkat sendiri dengan sepeda motor. Hiks.
Perjalanan yang melewati hutan pinus, cemara, hingga wilayah
pegunungan membuat saya harus berhati-hati. Apalagi beberapa kondisi jalan yang
masih rusak dan lengangnya masyarakat yang melewati jalan. Namun, perjalanan
yang sepi akhirnya berubah saat masuk ke wilayah pemukiman masyarakat Tengger.
Aneka umbul-umbul terpasang di setiap rumah, suara musik terdengar dari balai
desa, dan riuh kendaraan bermotor saling silih berganti berpapasan dengan saya.
Saya tak menyangka Karo akan begitu meriah. Saya yang
awalnya khawatir karena jalan yang sepi akhirnya merasa lega. Sebab kondisi
jalan sangat ramai dengan masyarakat Tengger yang sibuk beranjangsana dengan pakaian
khas berupa sarung atau selendang.
Setelah tiga jam perjalanan, akhirnya saya sampai pada si empu undangan. Saat masuk ruang tamu, saya langsung menghadapi aneka sajian kue dan minuman yang tertata rapi di meja ruang tamu. Tidak hanya itu, sajian aneka lauk juga memenuhi meja makan. Saya pun takjub dengan banyaknya makanan yang disajikan.
Dwi juga mengajak saya ke tempat saudaranya yang juga merupakan
siswa saya. Pertama yang terlihat ketika masuk rumah adalah sajian aneka kue
dan minuman. Beberapa menit setelah mengobrol, saya kembali diminta untuk
makan. Sama seperti di rumah Dwi, aneka lauk terhidang memenuhi seluruh bagian meja
makan. Saya lagi-lagi takjub, hehe.
Note ya, para tamu yang berkunjung saat Karo pantang untuk
menolak makanan. Semua tamu yang berkunjung harus makan. Adat. Begitu katanya. Bisa
dibayangkan bagaimana jika berkunjung ke banyak tamu, pasti kenyang kan? Hehehe. Padahal sebagaimana adat Karo, masyarakat
Tengger harus saling mengunjungi. Hampir dipastikan dalam satu hari mereka
bertamu pada sekitar 20 – 40 rumah. Bagaimana nasib perut jika dalam satu hari
mengunjungi 40 rumah dan wajib makan?
Ternyata ada trik yang dipakai para warga ketika berkunjung.
Ini saya dapatkan ketika ikut duduk berkunjung di rumah salah satu warga Tengger.
Para tamu hanya menghabiskan waktu sekitar 5 – 10 menit di setiap rumah. Urutannya
adalah mereka bersalaman dengan empu rumah dan duduk di ruang tamu. Setelah
berbasa basi sebentar, mereka dipersilakan untuk makan. Setelah makan selesai,
mereka pamit dan kembali bertamu di rumah yang lain.
Bagaimana makan agar tidak kenyang dan dapat diselesaikan dengan
waktu yang sempit? Ternyata triknya adalah makan hanya dengan mengambil satu lauk
kecil. Seperti satu telur puyuh, satu sendok abon, atau satu iris nugget. Wah, berbeda
dengan saya yang masih asyik menyendok nasi, hahaha. Pantas, jika dalam satu
kali makan saya ditemani 3 kali rombongan tamu lain. Sebab mereka makan serba
cepat dan saya makan serba menikmati, hehehe. Maklum, saya hanya berkunjung ke
tiga rumah, berbeda dengan mereka yang berkunjung ke 20-40 rumah dalam satu
hari.
Itulah kisah saya saat ikut memeriahkan Karo, hari raya adat
suku Tengger. Ada yang penasaran dengan hari raya Karo? Bolehlah berkunjung ke
Bromo tahun depan pada saat Karo. Yakin deh, masyarakat Tengger akan membuka
pintu lebar-lebar ketika kita berkunjung. Bagaimana, mau?
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~