Saya tinggal di sebuah desa dataran tinggi di
kabupaten Probolinggo. Sejak kecil hingga saat ini, praktik pernikahan dini di
desa saya adalah hal yang lumrah dilaksanakan. Oleh sebab itu, tak perlu heran
jika melihat perempuan-perempuan muda belasan tahun berlalu lalang di jalan
desa sambil menggendong anak. Hanya saja, setelah saya perhatikan alasan
dilakukannya pernikahan dini antara jaman dulu dan sekarang berbeda.
Tahun 90-an, desa saya masih belum tersentuh
listrik. Jalan desa berupa batu-batu sungai yang ditata rapi. Sekolah yang ada
hanya Sekolah Dasar (SD). SMP terdekat berada di ibu kota kecamatan yang
berjarak sekitar 10 km, sementara letak sekolah menengah atas semakin jauh
lagi, yaitu sekitar 15 km. Kondisi ini kemudian menjadi penyebab tingginya angka
tidak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya. Pertama, letak sekolah yang
jauh. Kedua, sarana transportasi masih sulit. Ketiga, tingkat perekonomian dan pola
pikir masyarat tentang pendidikan masih rendah. Akibatnya, setamat SD para
perempuan dinikahkan oleh orang tuanya. Sedangkan laki-laki, bekerja membantu
orang tua atau menjadi TKI di Malaysia.
Tahun 2000an, desa saya mengalami kemajuan.
Listrik mulai masuk desa, dan jalan desa diperbaiki menggunakan aspal. Sekolah
menengah mulai dibangun, baik tingkat menengah pertama maupun tingkat menengah
atas. Kesejahteraan masyarakat meningkat ditandai dengan meningkatnya
kepemilikian kendaraan pribadi seperti sepeda motor dan mobil. Sejalan dengan
itu, kesadaran masyarakat tentang pendidikan perlahan membentuk grafik naik,
dibuktikan dengan angka melanjutkan sekolah dari sekolah dasar ke sekolah
menengah mencapai 100%. Namun demikian, praktik pernikahan dini tidak serta
merta berhenti.
Ya! Pernikahan dini di desa saya tetap terjadi
dengan mempelai perempuan dan laki-laki yang kemudian putus sekolah. Hanya saja,
alasan dilakukannya pernikahan dini berbeda dengan beberapa tahun yang lalu.
Kali ini faktor utama dilaksanakannya pernikahan dini adalah dari mempelai,
bukan orang tua.
Pergaulan bebas remaja mulai menjangkiti desa. Tak
jarang, para pasangan muda ini berdua bersama-sama dalam waktu yang tak
terbatas. Baik di sekolah, di rumah, di tempat main, dan sebagainya. Akhirnya
timbul kekhawatiran dari orang tua, sehingga memutuskan melakukan pertunangan
pasangan yang masih berstatus siswa-siswi. Pertimbangan orang tua adalah agar tidak
terjadi fitnah di kemudian hari. Namun apa daya ternyata ikatan pertunangan
bukan membuat pasangan muda ini memiliki batas, malah semakin tak berbatas. Mulai
menginap di tempat pasangannya dalam waktu yang lama. Akhirnya, peristiwa hamil
di luar nikah tidak terhindarkan. Pernikahan dini pun terpaksa harus dilaksanakan.
Beberapa orang tua juga memberi alasan dilakukan pernikahan
dini karena tidak menginginkan peristiwa hamil diluar nikah. Ya! Para orang tua terpaksa
membuat pasangan muda ini putus sekolah karena melihat pergaulan bebas dan tanpa batas diantara mereka. Jika demikian, siapa yang harus
diarahkan untuk mencegah praktik pernikahan dini?
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~