MASIGNASUKAv102
6861843026328741944

SELAMAT JALAN, PAPA

SELAMAT JALAN, PAPA
Add Comments
2018-01-26
"I'll always remember the things you have taught me and how much you love me"- anonymous 



Minggu, 24 september 2017.

Pukul 05.00 WIB, saya bertemu papa di dapur. Ia duduk santai di meja makan. Saat melihat saya datang, papa meminta untuk dbuatkan segelas air hangat. Hm... Tumben, biasanya papa yang membuatkan air hangat. Saya merasa heran, tapi tidak sempat berpikir panjang. Hanya segera menyanggupi permintaannya. Setelah memberikan segelas air hangat, saya bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap menghadiri walimatul ‘ursy adik sepupu.


Pukul 06.00 WIB, mama meminta saya untuk segera mandi. Sebab, selama 1 jam saya masih setia membereskan barang-barang di dalam kamar. Maklum, kamar sudah lama tak ditempati hingga membutuhkan sedikit sentuhan agar terasa sedap dipandang. Saya mengintip ke halaman, terlihat papa masih menyapu daun-daun mangga yang jatuh terbawa angin. Saya katakan pada mama, “papa masih menyapu, saya mandi nanti saja setelah papa selesai”. “Kita berangkat duluan, papa menyusul karena harus menemani tetangga yang menjadi MC,” jawab mama.

Mendengar jawaban mama, saya mempercepat bongkar-muat barang di kamar dan berlari ke kamar mandi. Setelah siap untuk berangkat, saya menuju dapur untuk mengeluarkan sepeda. Ternyata, papa sudah menunggu di dapur dan menanyakan sepeda motor mana yang akan saya gunakan. “Punya saya sendiri,” saya menjawab seraya menunjukkan kontak pada papa. Rupanya papa hanya memberi jalan untuk mengambil sepeda motor tanpa berniat mengambil kontak dari tangan. Huh, lagi-lagi tidak biasanya, saya merengut dalam hati. Biasanya, papa akan mengambil kontak dan membantu mengeluarkan sepeda, tapi kali ini tidak. Papa hanya melihat dan membiarkan saya mengeluarkan sepeda sendiri.

Sebelum saya dan mama berangkat, papa membantu mama untuk merapikan rok yang dipakainya agar tidak mengganggu roda sepeda saat dikendarai. Beberapa menit kemudian, saya dan mama pamit berangkat. Meninggalkan papa yang kembali mengambil sapu dan melanjutkan membersihkan halaman rumah.

Sesampainya di rumah adik, saya dan mama langsung beraksi membantu persiapan konsumsi yang akan diberikan pada tamu. Hingga ditengah-tengah kesibukan, mbak Mala, putri kakak papa datang. Ia menanyakan keberadaan papa. Saya katakan, papa datang menjelang acara, karena ia menemani tetangga yang menjadi MC.

“Saya disuruh tanya sama Adib (adik sepupukku yang lain), karena pakde belum juga datang katanya,” ujar mbak Mala.
“Tumben tuh adik tanya,” tanya saya pada mbak Mala. Mbak Mala hanya tertawa, “Adib bingung, khawatir pakde gak datang katanya,” lanjut mbak Mala kemudian.
“Gak mungkinlah, ini kan acara penting.” Sanggah saya pada mbak Mala. Mbak Mala pun pergi, kembali membantu persiapan di dapur.

Pukul 09.00 WIB.
Saya mendengar suara kalau papa sudah datang. Saya beringsut keluar dari ruang keluarga dan melihat papa dikejauhan, datang berdua dengan tetangga yang menjadi MC. Papa berjalan searah dengan sinar matahari dibelakangnya. Akibatnya, saya melihat papa seperti bersinar dengan hiasan senyum lebarnya. Cerah sekali wajah papa, saya bergumam dalam hati, lalu kembali masuk ke dalam rumah.

Beberapa menit kemudian, saya keluar kembali untuk memberi salam pada pakdhe yang baru datang. Papa duduk di kursi sebelah pakdhe. Tapi, saya tidak menyapanya. Saya hanya memberi salam pada pakdhe lalu kembali masuk rumah.

Pukul 09.30 WIB.
Rombongan tamu datang, termasuk mempelai pengantin. Saya turut menyambut, sekaligus mengabadikan acara karena salah seorang budhe tidak bisa hadir dan meminta saya untuk mengirim foto-foto saat acara berlangsung. Maka, jadilah saya fotografer dadakan saat itu.

Setelah beramah tamah dengan rombongan mempelai, acara walimatul ‘ursy  pun di mulai. Acara diawali dengan hadrah, kemudian sambutan dari keluarga yang akan diwakili oleh papa, sebagai pengganti om yang sudah wafat. Selain memberikan sambutan, papa juga didapuk sebagai pembicara dalam acara walimatul ‘ursy ini.

Selama ini papa memang seringkali mengisi acara walimatul ‘ursy dan merasa senang dengan kegiatannya tersebut. Mungkin, karena sebelumnya, cita-cita papa adalah menjadi penghulu. Sebelum kemudian mengikuti tes CPNS guru dan diterima. Maka jadilah papa seorang guru. Tetapi, kesenangannya dengan label penghulu membuat papa sering diminta untuk mengisi acara walimatul ‘ursy.

Beberapa menit setelah sambutan hadrah, tibalah giliran papa untuk berbicara. Saya tak sempat mendengar apapun. Sebab posisi ada di ruang keluarga yang agak jauh dengan halaman sebagai tempat acara. Selain itu, saya sibuk memilih foto untuk dikirimkan pada budhe. Sebelum akhirnya kehebohan itu terjadi.

Acara tiba-tiba terhenti. Semua orang berteriak panik. “Pakdhenya pingsan, pakdhenya pingsan.” Begitu suara-suara yang sampai di telinga. Mama yang sedang duduk di ruang keluarga, langsung dibawa keluar. Saya ikut berdiri tapi dengan kondisi kebingungan melihat semua orang bergegas ke halaman.

Pintu rumah yang hanya berukuran satu meter sesak dengan orang. Saya tak bisa keluar. Hanya berdiri. Sebelum akhirnya, kerumunan orang-orang menghilang dan duduk seperti semula. Baru saya bisa melihat kondisi halaman. Terlihat rombongan para lelaki menggotong papa di ujung depan jauh. Entah, mau dibawa kemana.

Saat itu, pikiran saya kosong. Hanya berpikir, papa tak biasanya pingsan. Papa tak biasanya hilang kendali. Apalagi hanya dengan alasan, teringat almarhum om seperti yang diduga para tamu. Ah, tidak. Papa itu seorang yang kuat, saat nenek dan adik meninggal, papa tetap bisa tegar. Apalagi hanya dengan kondisi mengingat kenangan. Ya, papa tak seperti adiknya yang memang seringkali pingsan ketika mengingat saudara-saudaranya yang sudah meninggal.

Ketika jeda acara tersebut, saya tidak bisa berpikir jernih, hanya bisa merayu tante untuk tidak khawatir dan tetap melanjutkan acara. Saya sempatkan bertanya pada orang yang ada disekitar acara, apakah papa memakan sesuatu. Sebab papa memiliki kadar darah tinggi, sehingga bisa membuatnya pingsan. Tetapi jawaban beberapa orang, papa tidak makan atau minum apapun sejak tiba dari rumah. Lalu, apa yang bisa membuatnya pingsan?

Sambil berpikir, saya hanya bisa menatap jauh ke arah rombongan bapak-bapak yang mulai kembali ke tempat acara. Mereka mengatakan papa di bawa ke rumah sakit. Lagi-lagi saya berpikir, separah apa papa hingga harus membawanya ke rumah sakit. Bukankah untuk pingsan, bisa diobati dengan mengoleskan minyak saja. Saya tetap berpikir hingga tiba pada kesimpulan apakah papa terkena serangan jantung? Karena sebulan terakhir papa sering mengeluh nyeri di dada saat bekerja terlalu berat. Jika benar serangan jantung maka satu-satunya jawaban dari pertanyaan mengapa papa pingsan adalah papa tidak pingsan. Papa sudah pergi.

Pikiran pun terbagi menjadi dua, satu mengatakan papa pergi. Satu memastikan bahwa itu hanya pikiran negatif yang menghuni otak belaka. Hingga tiba-tiba ada yang meminta saya untuk segera ke rumah sakit. Menyusul papa. Saya yang hanya mondar mandir tiba-tiba sadar dan beranjak mengambil sandal untuk ke rumah sakit. Namun dengan siapa saya ke rumah sakit? Saat bingung kembali datang, tiba-tiba mbak Mala muncul dan meminta naik ke boncengannya.

Selama perjalanan saya dan mbak Mala bercerita tentang kejadian pingsannya papa. Walaupun sebenarnya, pikiran saya terbagi menjadi dua kubu. Satu kubu, meminta untuk tidak percaya pada pikiran negatif. Sedang kubu yang lain memastikan bahwa papa sudah tiada. Ya, dengan kondisi papa yang tidak pernah pingsan dan mengeluh nyeri dada, maka robohnya papa di saat mengisi acara cenderung pada serangan gagal jantung. Terlebih lagi, bahwa kegiatan itu adalah hal yang sangat disenangi papa. Saya pernah mendengar bahwa seseorang akan dipanggil menghadap Allah pada kondisi yang paling ia senangi. Maka, simpulan kubu pikiran yang menyatakan papa tiada pasti dinyatakan valid.

Setelah sampai di rumah sakit, saya langsung masuk pintu UGD. Sayangnya, saya yang tidak tahu ruang UGD harus berputar-putar sebelum akhirnya bertanya pada petugas. Sesampainya di UGD, papa sudah berada di salah satu ranjang pasien. Setelah saya mendekat, tiba-tiba perawat menutup semua tirai di sekeliling ranjang tersebut. Dia meminta semua orang keluar dan menyisakan mama serta kakak pemilik mobil yang membawa papa. Lagi-lagi kubu pikiran yang menyatakan papa tiada semakin kuat bergejolak. Apalagi saya sempat melihat beberapa alat pacu jantung ada di dekat ranjang papa dan dipegang oleh beberapa perawat yang mengelilingi papa.

Saya melirik arloji, pukul 10.05 WIB. Berkali-kali saya menarik nafas, untuk menenangkan pikiran sambil berdiri terpaku di depan tirai yang menutupi ruang pemeriksaan papa. Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba muncul pemikiran, apa yang dilakukan papa ketika nenek meninggal. Saya pun mengingat bahwa saat itu papa setia di samping nenek untuk mengaji. Khusyuk. Berbekal ingatan tersebut,  saya berkeinginan untuk melakukan hal yang sama.

Saya mencari kamar mandi untuk berwudhu. Petugas meminta ke arah belakang rumah sakit. Sepanjang perjalanan, saya yakinkan diri untuk mengatakan bahwa jika ini yang terbaik, biarkan papa pergi dengan tenang. Pergi dengan damai. Walaupun dalam hati saya masih menyimpan dua keinginan yang mungkin tak akan pernah bisa lagi diwujudkan di depan papa.

Setelah menemukan kamar mandi ternyata kamar mandi sedang dibersihkan. Saya menunggu beberapa lama sebelum akhirnya petugas meminta untuk pergi ke kamar mandi lain di ujung rumah sakit. Saya mengikuti sarannya, berjalan ke ujung rumah sakit dan menemukan pintu kamar mandi yang sedang tertutup. Saya bertanya pada salah satu orang, katanya ada orang yang menggunakan kamar mandi. Saya pun antri di depannya.

Detik demi detik berlalu. Dalam kalut, pintu kamar mandi tak kunjung terbuka. Dalam penantian, senantiasa saya berdoa dan memastikan hati untuk tidak kecewa atas semua keputusan sang pencipta. Tak sabar menunggu, saya dekati kamar mandi dan mendorong pintunya, ternyata tidak orang didalamnya. Saya tertawa karena merasa tertipu dengan pintu yang tertutup.

Keluar dari kamar mandi, terdengar suara mbak Mala memanggil-manggil. Saya menemuinya dan bertanya ada apa. Ia menjawab hanya khawatir saya tak  kunjung kembali dari kamar mandi. Saya tersenyum dan bercerita bahwa saya tertipu pintu yang tidak kunjung terbuka. Namun, dalam hati saya menyangka. Tak mungkin tidak apa-apa. Hingga saya dijemput dan diminta cepat ke tempat pemeriksaan. Mungkinkah papa sudah tiada? Jika ini yang terjadi, maka saya akan disambut oleh airmata mama. Dalam dugaan sementara ini saya tetap berdoa. Memastikan bahwa itu hanya khayal yang tidak mewujud nyata.

Sesampai di ruang depan, terlihat semua saudara yang ikut mengantar ke rumah sakit berdiri mengelilingi mama. Saat saya tiba, mama merangkul dengan derai air mata. Papa sudah tiada, katanya. Ah, ternyata doa untuk bisa menemui papa dalam kondisi bugar tidak bisa terwujud. Saya pun merangkul mama dan menguatkannya. Ya, menguatkan mama karena saat ini hanya tersisa mama yang saya punya.

Kepergian papa yang tiba-tiba membuat kakak yang membawa papa ke rumah sakit tidak percaya. Ia kembali meminta perawat untuk memeriksa. Permintaan diterima. Papa kembali dipasang selang dan alat-alat pemeriksa jantung. Kami juga mulai memberi kabar berita kepada sanak saudara, mengatakan bahwa papa sedang sakit.

Beberapa menit kemudian, perawat membuka semua selang dan meminta kami untuk bersabar. Perawat mengatakan sebenarnya papa sudah tiada sejak sebelum tiba di rumah sakit. Mungkin malaikat Izrail datang ketika papa sedang membaca doa wasilah terakhir sebelum memberikan tausiyah. Ketika secara tiba-tiba mikrofon terlepas dari tangannya dan tubuhnya terhuyung ke bagian belakang sofa.

Jika benar prasangka itu, maka papa pergi dalam kegiatan yang sangat disukainya, yakni mengisi kegiatan walimatul ‘ursy. Papa pergi dalam kondisi yang begitu disenangi, yakni saat membaca doa. Maka, satu kebahagiaan yang masih bisa saya ucapkan saat itu adalah kepergian papa tidak memberikan kesulitan kepada kami, keluarganya. Papa pergi saat semua keluarga jauh datang untuk mengikuti walimatul ‘ursy. Papa pergi dalam baktinya kepada keluarga. Papa pergi, semoga dalam keadaan husnul khotimah.

Hari minggu, 24 September 2017 bersamaan dengan kepulangan para jamaah haji, papa berpulang. Dengan iringan mendung yang tiba-tiba datang memuntahkan isinya ke bumi, papa dimakamkan. Berselimut air hujan yang merangkul tanah diam-diam, papa kembali ke haribaan. Selamat jalan, papa. Semoga engkau damai dan mendapat terbaik di sisi Allah.

Teriring maaf dari putrimu yang masih saja belum bisa mewujudkan keinginan terbesarmu.
I love you, dad.


 

Qudsi Falkhi

Teacher who loves books and traveling, contact me --> falkhi@gmail.com