Menunggu itu bisa membuat kita grogi, jenuh, kesal, bingung, dan macam-macam rasa lain yang lain. Persis seperti permen gado-gado yang rame rasanya. Yup, itulah yang juga saya rasakan saat menunggu kedatangan buku DUA MENIT SATU DETIK. Buku antologi puisi yang diterbitkan oleh FAM Publishing ini memuat dua puisi saya yang berjudul, Rindu yang Menjadi Abu dan Punggung Ayah.
Buku DUA MENIT SATU DETIK merupakan antologi puisi dari perlombaan puisi bertema Setangkup Kata untuk Orang Tercinta. Jadilah puisi-puisi dalam buku ini bertema cinta. Cinta dalam lingkup yang sangat luas. Tidak terbatas hanya pada keluarga.
Terdapat 73 penulis yang berkontribusi dalam buku DUA MENIT SATU DETIK. Para penulis berasal dari berbagai profesi dan berbagai daerah. Penulis nusantara, begitu yang tercantum dalam buku.
Buku? Oh ya, hari ini buku yang saya tunggu sejak lama kini sudah mendarat dalam genggaman tangan. Siap untuk dibaca. Bagaimana dengan anda? Tertarik untuk membaca buku DUA MENIT SATU DETIK? Kunjungi saja situs FAM Publishing.
Berikut dua puisi yang saya sertakan dalam buku DUA MENIT SATU DETIK.
Sukapura, 2015
Buku DUA MENIT SATU DETIK merupakan antologi puisi dari perlombaan puisi bertema Setangkup Kata untuk Orang Tercinta. Jadilah puisi-puisi dalam buku ini bertema cinta. Cinta dalam lingkup yang sangat luas. Tidak terbatas hanya pada keluarga.
Terdapat 73 penulis yang berkontribusi dalam buku DUA MENIT SATU DETIK. Para penulis berasal dari berbagai profesi dan berbagai daerah. Penulis nusantara, begitu yang tercantum dalam buku.
Buku? Oh ya, hari ini buku yang saya tunggu sejak lama kini sudah mendarat dalam genggaman tangan. Siap untuk dibaca. Bagaimana dengan anda? Tertarik untuk membaca buku DUA MENIT SATU DETIK? Kunjungi saja situs FAM Publishing.
Berikut dua puisi yang saya sertakan dalam buku DUA MENIT SATU DETIK.
RINDU YANG MENJADI ABU
Waktu kecil aku sering menggerutu.
Pada ayah maupun ibu
“Kapan aku punya adik baru?”
Seperti teman-saudara yang sering
berjibaku. Tentang kue, mainan, baju, dan buku
Dengan adik kecil berwajah lucu
Sembilan sembilan. Aku ingat tahun
itu
Saat perut ibu membesar dan
bergerak-gerak.
“Adik sedang menendang,” begitu kata
ibu
Oh! Betapa senangnya aku
Akan ada teman untuk berebut kue,
mainan, baju, dan buku
Sembilan sembilan. Aku ingat tahun
itu
Saat ibu guru mendatangiku yang
asyik belajar dibangku
“Adik sedang sakit,” begitu kata bu
guru
Aku segera berlari. Menyongsong
bapak yang sudah berdiri
Di depan gerbang sekolah dengan
wajah yang tak bisa aku mengerti
Sembilan sembilan. Aku ingat tahun
itu
Saat kakiku lemas melihat adik. Tidur
lelap
Tanpa ada lagi degup jantung memburu
Sembilan sembilan. Seratus kurang satu
Cintaku hilang. Terbawa adik yang
selalu dirindu
Sukapura, 2015
PUNGGUNG AYAH
Tahun berganti, usiaku semakin
menepi. Menjejak fase
Balita, anak, remaja, dewasa hingga
Menjadi orang tua. Bagi dua balita
Yang kau panggil dengan sebutan cucu
Tahun berganti, aku tetap menyukai
pagi. Saat motor tua
Membawa pergi. Menuju sekolah dengan
berbonceng rapi
Duduk mendengarkan cerita yang kau
nyalakan tiap hari. Di balik punggung
tempatku bersandar kala tidur
semalam
Tak bisa nyenyak untuk bermimpi
Tahun berganti, aku masih terngiang
mengenang. Cerita pagi
Dari balik punggung. Ingin aku
mendengarnya kembali
Dari balik punggung. Raut wajah
menua yang kini tertidur memeluk mimpi
Dari balik punggung. Aku menanti
Sukapura, 2015
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~