Pernah punya pengalaman
dengan salah pendengaran? Misal yang dikatakan bubur tetapi yang kita dengar
busur. Nah lho, bisa berabe kan. Pengennya langsung makan begitu ada bubur, eh
malah datangnya penggaris busur. Gak bisa dimakan dong!
Bulan kemarin, tepatnya
waktu perayaan lomba untuk menyambut hari kemerdekaan saya mempunyai pengalaman
dengan salah pendengaran. Fatal? Menurut saya begitu, hehehe.
Kisahnya begini, salah
satu lomba dalam perayaan agustusan di kecamatan tempat saya bekerja adalah
lomba membaca puisi dan lomba pantun tingkat sekolah dasar. Sekolah saya
kemudian diminta untuk membantu sebagai juri dalam lomba tersebut. Tentu saja,
guru yang dipilih sebagai juri adalah guru bahasa Indonesia.
Pada waktu hari H,
tiba-tiba pihak panitia memberitahukan bahwa lomba diundur keesokan harinya
dengan alasan tertentu. Ternyata, keesokan harinya dua orang teman saya yang
terpilih sebagai juri tidak bisa hadir. Jadilah kepala sekolah meminta guru
yang lain untuk menggantikan. Nah, inilah awal mula pengalaman salah dengar
saya dimulai.
Hanya tersisa satu orang
guru bahasa Indonesia yang dapat menggantikan, sedangkan untuk kepentingan ini
dibutuhkan dua juri. Oleh sebab itu, butuh guru lain yang dapat menggantikan. Guru-guru
yang mengetahui kesenangan saya menulis puisi kemudian mengusulkan agar saya menggantikan
sebagai juri lomba membaca puisi, sedangkan juri lomba pantun diserahkan pada
guru bahasa Indonesia.
Malam harinya, saya
browsing untuk menyiapkan format penilaian lomba. Maklum, selama ini saya belum
pernah menjadi juri untuk lomba membaca puisi. Kalau menjadi peserta, sering.
Hehehe.
Keesokan harinya, saya
dan guru bahasa Indonesia tersebut berangkat ke tempat lomba di pendopo cabang
dinas pendidikan yang letaknya tidak begitu jauh dari sekolah kami. Sudah
banyak peserta yang hadir begitu kami tiba di tempat acara. Kami segera
mendatangi panitia untuk menginformasikan penggantian juri.
“Pak, saya dari SMA yang
mewakili juri lomba puisi dan pantun,” lapor saya pada panitia.
“Iya, ini daftar peserta
lomba puisinya. Nanti pemanggilan pesertanya bergantian antara putra dan putri.
Tempat lombanya ada di ruang belakang,” jelas salah satu panitia.
“Kalau lomba pantunnya
dimana ya bu?” tanya saya selanjutnya.
Ibu panitia mengernyitkan dahi, “Lomba
pantun?” jawabnya heran.
Saya kemudian menjelaskan
bahwa sekolah saya diminta bantuan dua orang guru sebagai juri untuk lomba
pantun dan puisi. Guru yang ditunjuk berhalangan hadir hari ini sehingga saya
dan teman saya menggantikan sebagai juri.
“Tidak ada lomba pantun
bu. Kemarin yang ditunjuk itu untuk juri lomba patung dan puisi,” jelasnya
kemudian.
“Ooooh,” kepala saya
tiba-tiba merasa pusing. Kenapa patung bisa menjadi pantun ya. Setelah diusut
pada pihak panitia ternyata pemberitahuan tersebut hanya melalui sambungan
telepon pada kepala sekolah. Pantas aja nih, lomba patung menjadi lomba pantun.
Mungkin, pembicaraannya tidak jelas sehingga ada peristiwa salah dengar.
Sekarang gimana dong? Ini kan fatal bagi saya yang tidak memiliki background
keilmuwan di dua bidang tersebut.
Pihak panitia kemudian
meminta teman saya untuk tetap berada ditempat acara, minimal mengawasi
pelaksanaan lomba patung. Hm... saya kemudian meminta rolling tempat. Biarlah teman saya menjadi juri lomba membaca
puisi, karena memiliki background sebagai guru bahasa Indonesia. Sedangkan
saya? Terpaksa menjadi juri patung. Hehehe. Toh, sedikit-sedikit saya ini
menyukai seni rupa. Bisa lah untuk menilai, tentunya dengan bantuan juri yang
lain. Sebab terdapat dua juri dalam setiap perlombaan.
Lomba membaca puisi putri |
Lomba membaca puisi putra |
Lomba patung |
Peserta membuat patung dari plastisin |
Karya patung no peserta 08 |
Kuda |
Peristiwa ini menjadi
pelajaran bagi saya bahwa pemberitahuan secara lisan itu harus disertai dengan
pemberitahuan tertulis. Hal ini untuk menghindari kesalahan pendengaran seperti
yang saya alami. Betul kan?
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~