MASIGNASUKAv102
6861843026328741944

PERLUKAH UJIAN NASIONAL (UN) DILAKSANAKAN?

PERLUKAH UJIAN NASIONAL (UN) DILAKSANAKAN?
Add Comments
2012-05-25

Sepuluh tahun berlalu sejak pertama kali diberlakukannya sistem Ujian Nasional (UN) untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian Nasional (UN) pertama kali diadakan pada tahun ajaran 2002/2003 dengan nama Ujian Akhir Nasional (UAN), menggantikan sistem yang sama dengan nama Evaluasi belajar tahap akhir nasional (Ebtanas). Ujian Nasional (UN) merupakan sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah bertaraf nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 khususnya pasal 35 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kemudian diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah No 19 Tahun 2005 yang menjelaskan secara rinci tentang standar nasional pendidikan. Salah satunya adalah standar penilaian pendidikan yang berkaitan dengan pelaksanaan ujian nasional.


Pada peraturan pemerintah No 19 Tahun 2005 dijelaskan tentang penilaian pendidikan pada jenjang dasar dan menengah (Pasal 63 ayat 1). Penilaian hasil belajar terdiri dari penilaian hasil belajar oleh pendidik, penilaian hasil belajar oleh satuan pendidikan, dan penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Ujian nasional merupakan bentuk penilaian hasil belajar oleh pemerintah dengan tujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari program dan satuan pendidikan, dan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Pasal 68 PP No 19 Tahun 2005).
Laporan indikator keberhasilan Ujian Nasional (UN) dinyatakan dalam persentase kuantitatif. Di mana persentase tersebut merujuk pada batas minimal kelulusan yang sudah ditetapkan. Persentase kuantitatif tentu dipilih agar laporan yang diberikan dapat lebih efektif dan efisien, Bukankah angka adalah representasi yang baik dari sebuah kalimat atau paragraf panjang? Bayangkan jika data yang dikumpulkan dalam bentuk kualitatif, bukan hanya membutuhkan waktu penyusunan yang lama tetapi juga mengandung unsur subyektifitas tinggi.  
Banyak perubahan yang menyertai sepuluh tahun pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Salah satunya standar kelulusan minimal yang ditetapkan. Awal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) atau yang saat itu bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menetapkan angka kelulusan 3,01 untuk setiap mata pelajaran yang diujikan. Angka tersebut perlahan-lahan meningkat menjadi 4,01 (2003/2004), dan 4,25 (2004/2005). Untuk tahun 2005/2006 standar kelulusan per mata pelajaran 4,26. Sedangkan nilai rata-rata dari tiga mata pelajaran ujian nasional harus 4,5. Tahun 2006/2007 nilai rata-rata minimum 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25. Tahun 2007/2008 nilai rata-rata minimum menjadi 5,25 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25.
Tahun 2008/2009 dan 2009/2010 memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Tahun 2010/2011 dan 2011/2012 memiliki nilai rata-rata dari semua nilai akhir minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai akhir minimal 4,00 untuk setiap mata pelajaran. Nilai akhir didapatkan dari 40 persen akumulasi rata-rata nilai ujian sekolah dan 60 persen nilai UN.
Selain perubahan standar kelulusan minimal, mata pelajaran yang diujikan juga mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada Ujian Nasional (UN) tahun 2007/2008, yaitu penambahan mata pelajaran yang diujikan. Untuk SMA mata pelajaran yang diujikan dari tiga menjadi enam mata pelajaran dengan tambahan tiga mata pelajaran karakter jurusan, sedangkan SMP dari tiga menjadi empat mata pelajaran dengan tambahan mata pelajaran IPA.
Penentuan kelulusan siswa juga ikut mengalami perubahan. Dari awal pelaksanaan Ujian Nasional (UN) hingga tahun 2010, kelulusan siswa hanya ditentukan berdasarkan nilai Ujian Nasional (UN). Akan tetapi sejak Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2010/2011 kelulusan siswa juga ditentukan oleh nilai rapor dan nilai ujian sekolah. Yakni 40 persen akumulasi rata-rata nilai rapor dan ujian sekolah serta 60 persen nilai Ujian Nasional (UN).
Seiring dengan berjalannya pelaksanaan Ujian Nasional (UN)  disertai perubahan didalamnya, pro-kontra terus saja berlangsung. Perlukah Ujian Nasional (UN)  dilaksanakan? Adalah pertanyaan wajib dan selalu menjadi topik utama menyambut pelaksanaan Ujian Nasional (UN) setiap tahun. Pertanyaan yang tiada berujung dan tidak menemukan titik temu. Sebab masing-masing pihak mengklaim suatu kebenaran dari terlaksana atau tidaknya Ujian Nasional (UN). Tanpa memikirkan objek pelaksanaan Ujian Nasional (UN), dalam hal ini siswa sebagai peserta Ujian Nasional (UN). Kebingungan, kecemasan dan ketakutan menjadi harga yang tak bisa di tawar. Terlebih lagi dengan pemberitaan yang lebih menempatkan Ujian Nasional (UN)  sebagai momok dalam dunia pendidikan.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sudah seharusnya dihilangkan, begitu pelaksanaan Ujian Nasional (UN) menjadi peraturan yang harus dilaksanakan di setiap tingkat pendidikan. Tanpa terkecuali. Oleh sebab itu, akan lebih baik jika pertanyaan yang dilontarkan berkonotasi positif. Misalnya, apakah yang bisa saya bantu untuk mendukung pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang efektif? Dukungan seperti apa yang dibutuhkan, sehingga Ujian Nasional (UN) benar-benar menjadi gambaran mutu pendidikan di Indonesia? Bagaimana menyiapkan pelaku pelaksana Ujian Nasional (UN) yang memiliki tingkat moralitas tinggi?
.
Pertanyaan positif adalah dukungan. Pemberian dukungan akan berimbas pada meningkatnya kepercayaan diri seluruh elemen pendidikan khususnya siswa dan guru. Sebagai pelaku utama Ujian Nasional (UN). Kepercayaan tinggi terhadap kemampuan diri sendiri diharapkan akan menumbuhkan sikap kerja keras untuk meraih keberhasilan dengan cara yang jujur. Bukankah ini yang kita harapkan? Meningkatnya kualitas pendidikan Indonesia dalam segi pengetahuan dan moral.  
Sedangkan pertanyaan berkonotasi negatif akan selalu menimbulkan kecemasan, ketakutan, dan kepercayaan diri yang rendah. Khususnya bagi siswa yang masih dalam taraf labil dan mudah terpengaruh lingkungan. Usia rata-rata peserta Ujian Nasional (UN) berkisar antara 10-20 tahun. Pada usia ini rasa khawatir, cemas dan frustasi mudah terjadi, bahkan hanya dengan masalah sepele. Oleh sebab itu, sikap lingkungan yang menempatkan Ujian Nasional (UN) sebagai peristiwa penting yang terkesan sulit, akan membuat siswa panik. Apalagi dengan asumsi siswa yang tidak lulus adalah siswa yang bodoh. Maka ketakutan siswa akan Ujian Nasional (UN) semakin menjadi. Bayang-bayang tidak lulus, membuat sebagian siswa rela menempuh cara yang tidak jujur untuk lulus. Hal ini disebabkan terkikisnya rasa kepercayaan akan kemampuan dirinya sendiri.
Dalam keadaan normal mayoritas siswa bisa menyelesaikan soal Ujian Nasional (UN) dengan baik secara mandiri. Namun mengapa pada saat Ujian Nasional (UN), siswa terkesan minder, pesimis, dan tergantung pada orang lain. Salah satu penyebabnya adalah bayangan akan “tidak lulus” dan tertanamnya kata “sulit” untuk soal Ujian Nasional (UN) pada diri siswa, membuat kepercayaan diri siswa merosot. Siswa lebih mempercayai orang lain yang dianggapnya lebih bisa, padahal bisa jadi kemampuannya sama. Akibatnya siswa menjadi tidak mandiri karena mengandalkan orang lain. Tidak mau berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan hasil terbaik. Jika demikian, hasil Ujian Nasional (UN) tentu tidak bisa dijadikan barometer pendidikan di Indonesia.
Lalu, masih perlukah Ujian Nasional (UN) dilaksanakan? Jawabannya ya. Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama kurun waktu sepuluh tahun memang masih jauh dari sempurna, walaupun beberapa perubahan telah dilakukan. Namun bukan berarti pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kemudian ditiadakan. Ujian Nasional (UN) tetap diperlukan sebagai bahan evaluasi seluruh elemen pendidikan (pemerintah, sekolah, guru, dan siswa) terhadap proses pendidikan dan pembelajaran yang telah terjadi.
Bukan hal yang mudah untuk meningkatkan mutu pendidikan suatu bangsa, apalagi hasil dari suatu proses pendidikan baru bisa dilihat setelah beberapa tahun kemudian. Tetapi bukan pula hal yang sulit untuk dilakukan. Hasil terbaik tidak diperoleh dalam waktu singkat, melainkan melalui proses yang panjang. Jadi, marilah kita bersama-sama tidak lagi mempertanyakan perlu tidaknya pelaksanaan Ujian Nasional (UN). Melainkan mendukung secara penuh pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang jujur, kondusif dan mampu meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia dalam segi pengetahuan, keterampilan, dan moralitas bangsa. Sehingga nantinya hasil Ujian Nasional (UN) benar-benar mencerminkan mutu pendidikan di Indonesia.    

***
Qudsi Falkhi

Teacher who loves books and traveling, contact me --> falkhi@gmail.com