A. Paradigma
dan Tujuan Mendasar Kebijakan Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi secara
yuridis tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintah
daerah yang secara resmi sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999, diterangkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,
kecuali urusan pemerintah yang menjadi urusan pemerintah (pusat), dengan tujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Pendidikan merupakan
salah satu bidang yang sebagian tugas dan wewenangnya juga diserahkan pada
daerah. Zajda & Gamage (2009, dalam Amtu, 2011) menjelaskan desentralisasi
di bidang pendidikan adalah proses mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab
mengenai distribusi serta penggunaan sumber daya (keuangan, sumber daya
manusia, atau fisik) oleh pemerintah pusat kepada daerah atau sekolah.
Sumber: blogspot.com |
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional kemudian dijadikan landasan hukum dalam penyelenggaraan desentralisasi
pendidikan dengan ketentuan kewenangan sebagai berikut.
1. Pemerintah
menentukan kebijakan nasional dan standar nasional pendidikan untuk menjamin
mutu pendidikan;
2. Pemerintah daerah
provinsi melakukan koordinasi penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga
kependidikan dan evaluasinya;
3. Pemerintah kabupaten/kota
mengelola pendidikan dasar dan menengah serta satuan pendidikan yang berbasis
keunggulan lokal.
Penyelenggaraan
desentralisasi pendidikan tentunya memiliki tujuan. Dalam penjelasan Slamet
(2005:3), desentralisasi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan mutu layanan
dan kinerja pendidikan, baik pemerataan, kualitas, relevansi, dan efisiensi
pendidikan. Selain itu desentralisai juga dimaksudkan untuk mengurangi beban
pemerintah pusat yang berlebihan, mengurangi kemacetan-kemacetan jalur-jalur
komunikasi, meningkatkan (kemandirian, demokrasi, daya tanggap, akuntabilitas,
kreativitas, inovasi, prakarsa), dan meningkatkan pemberdayaan dalam
pengelolaan dan kepemimpinan pendidikan.
Sedangkan Suyanto
(2001) sebagaimana dikutip oleh Abdul Kadir:
menyatakan terdapat beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
menyatakan terdapat beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan kebijaksanaan desentralisasi. Pertama, sistem persekolahan harus lebih tanggap terhadap kebutuhan individu peserta didik, guru, dan sekolah. Kedua, iklim pendidikan harus menguntungkan untuk pelaksanaan proses pendidikan.
Untuk
mendukung peningkatan mutu pendidikan dalam desentralisasi pendidikan
dibentuklah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Kebijakan ini merupakan upaya
pemerintah dalam rangka pembedayaan masyarakat dalam bidang pendidikan, peningkatan
kualitas dan relevansi pendidikan, serta perbaikan manajemen di setiap jenjang,
jalur, dan jenis pendidikan.
MBS
bertujuan untuk meningkatkan keunggulan sekolah melalui pengambilan keputusan
bersama. Memberikan pelayanan belajar yang sesuai dengan kebutuhan siswa,
memenuhi kriteria yang sesuai dengan harapan orang tua siswa serta harapan
sekolah dalam membangun keunggulan kompetitif dengan sekolah sejenis.
Inovasi
dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) salah satunya adalah pengelolaan
kurikulum. Atas dasar ini maka diluncurkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) sebagai kurikulum operasional sekolah yang ditetapkan pada tanggal 23 mei 2006, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan
Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan.
KTSP menghendaki kurikulum yang
disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas
dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara
lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan
secara nasional. Sehingga sekolah dapat mengembangkan
kurikulum sesuai dengan karakteristik, kebutuhan dan potensi sekolah dan daerah.
B. Analisis
Kritis (Keterkaitan MBS dan KTSP)
Tidak dapat
dipungkiri bahwa salah satu bentuk rendahnya
kualitas pendidikan di masa lalu adalah sistem pendidikan sentralisasi yang berlebihan.
Pelaksanaan pendidikan dengan instruksi, juklak, juknis dan kurikulum yang
terprogram dari pusat. Padahal kondisi Indonesia yang heterogen, tidak akan
pernah memiliki kesamaan dalam sosial, budaya maupun ekonomi. Sesuai dengan Winarno
Surachmad (1986 dalam Zamroni, 2003) yang menyatakan "... bahwa ilmu kependidikan
yang tidak lahir dan tidak tumbuh dari bumi yang diabdinya tidak akan pernah mampu
melahirkan potensi untuk menangani masalah yang tumbuh di bumi ini."
Adanya penyeragaman di seluruh Indonesia, tidak melihat
kepada situasi riil di lapangan, dan kurang menghargai potensi keunggulan
lokal. Sehingga proses pendidikan menjadi kurang operasional, tidak memberikan kompetensi
yang cukup bagi peserta didik untuk mengembangkan diri dan para lulusan tidak
memiliki daya kompetitif di dunia kerja dan berimplikasi pula terhadap
meningkatnya angka pengangguran.
Untuk itulah kehadiran MBS
dan KTSP digulirkan. Dengan harapan dapat memberikan jawaban yang konkrit terhadap
mutu dunia pendidikan di Indonesia. MBS memberi
peluang bagi warga sekolah untuk melakukan inovasi dan improvisasi di sekolah,
berkaitan dengan masalah kurikulum, pembelajaran, manajerial dan lain
sebagainya yang tumbuh dari aktivitas, kreativitas, dan profesionalisme yang
dimiliki. Pelibatan masyarakat dalam dewan sekolah di bawah monitoring
pemerintah, mendorong sekolah untuk lebih terbuka, demokratis dan bertanggung
jawab. Dengan demikian sekolah dapat menemukan jati dirinya dalam membina
peserta didik, guru, dan petugas lain di sekolah (Mulyasa, 2007).
Selaras
dengan MBS, KTSP
memberikan sekolah kewenangan untuk dapat mengembangkan (memperdalam,
memperkaya, memodifikasi), namun tidak boleh mengurangi isi kurikulum yang
berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk
mengembangkan muatan kurikulum lokal yaitu
mata pelajaran tertentu yang dianggap paling dibutuhkan siswanya. Sesuai
dengan potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan
daerah masing-masing. Hal ini diperlukan agar menghasilkan lulusan yang relevan
dengan kebutuhan pengembangan daerah.
Namun kebijakan sentralisasi
yang cukup lama, mengakibatkan rendahnya kreativitas dan kemandirian sumber
daya manusia. Selain itu ketidaksiapan daerah untuk melaksanakan desentralisasi
juga ikut menentukan. Dapat dilihat dengan masih banyaknya gedung-gedung
sekolah yang tidak layak pakai dan bahkan ada yang “ambruk”, masih tingginya angka putus sekolah, dan
masih ada anak-anak usia sekolah yang
tidak sekolah, terutama pada kantong-kantong daerah tertentu yang sulit
dijangkau oleh tranportasi dan komunikasi.
Hal ini
mengindikasikaan bahwa akses pendidikan, penyelenggaraan dan pengelolaan
pendidikan sebagai bentuk proses layanan pendidikan belum memadai dan belum
sesuai tujuan dengan otonomi daerah secara utuh. Padahal desentralisasi
pendidikan seperti program MBS membutuhkan sarana prasarana yang memadai selain
pelaksana-pelaksana yang bertanggungjawab, inovatif, kreatif, dan berjiwa
mandiri.
Sedangkan
penerapan KTSP terbentur pada masih minimnya kualitas profesionalisme
guru. Sebagian besar guru belum bisa diharapkan
memberikan kontribusi pemikiran dan ide-ide kreatif untuk menjabarkan KTSP,
baik di atas kertas maupun di depan kelas. Selain disebabkan oleh rendahnya
kualitas,
juga disebabkan pola kurikulum lama yang terlanjur mengekang kreativitas guru.sehingga
guru terbiasa untuk mendapatkan bukan mengembangkan. Padahal kekuatan KTSP
adalah sebagai sarana untuk mengembangkan kreativitas sekolah dan sarana mengembangkan
keunggulan lokal di Indonesia. Selain itu rendahnya
kuantitas guru yang diharapkan mampu memahami dan menguasai KTSP dapat
disebabkan karena pelaksanaan sosialisasi masih belum terlaksana secara
menyeluruh. Terutama pada daerah-daerah pelosok, terpencil
maupun pulau-pulau kecil yang tersebar di seluruh Indonesia yang sulit dijangkau
oleh tranportasi dan komunikasi.
C. Analisis
Operasional Solusi
Perbedaan
tingkat kesulitan di tiap daerah, memerlukan pemetaan permasalahan pendidikan
yang komprehensif untuk kemudian disusun dalam model perencanaan pendidikan
sehingga dapat diterapkan sesuai konteks dan kebutuhan masyarakat. Pemetaan
permasalahan dilakukan dengan turun langsung ke sekolah oleh dinas pendidikan
kabupaten/kota yang bekerja sama dengan cabang dinas kecamatan. Permasalahan
yang dipetakan berkaitan dengan sarana prasarana, ketersediaan dan kualitas tenaga
pendidik dan kependidikan, pengembangan kurikulum, jalur transportasi,
komunikasi, serta tingkat perekonomian masyarakat.
Hasil
pemetaan menjadi dasar produk perencanaan pendidikan yang mencakup seluruh
komponen pendidikan di antaranya kebijakan, rencana strategis, skala prioritas,
program, sasaran dan kegiatan serta alokasi anggaran (Amtu, 2011). Produk
perencanaan dilaporkan pada kepala daerah untuk kemudian disosialisasikan.
Sosialisasi tidak hanya pada dinas pendidikan, cabang dinas atau sekolah
melainkan juga kerjasama bidang pemerintahan yang lain, industri dan mayarakat.
Sosialisasi
dapat di adakan di awal tahun ajaran baru dengan mengundang pengawas sebagai
perwakilan sekolah, industri (misal perwakilan dari pabrik non UKM yang berada
di kabupaten atau kota tersebut), masyarakat (perwakilan ormas, keagamaan atau
pemerintahan) serta dinas lain (depag, perhubungan, PU, kesehatan, sosial,
pertanian, perikanan, peternakan serta sekotor perbankan). Sosialisasi
diharapkan dapat menyamakan tujuan dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Agar
pelaksanaan sesuai dengan perencanaan maka perlu dibuat perangkat monitoring
oleh dinas pendidikan kabupaten/kota sebagai evaluasi kegiatan dan tuntutan
pertanggungjawaban pihak sekolah selaku penyelenggara pendidikan. Hasil
monitoring dilaporkan dalam sosialisasi tahun berikutnya untuk masa program
selama satu tahun. Dengan begitu sekolah dituntut mampu menampilkan pengelolaan
sumber daya secara transparan, demokratis dan bertanggungjawab terhadap
masyarakat maupun pemeintah. Hal ini juga untuk meningkatkan kerjasama
masyarakat dan industri untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah.
comment 0 komentar
more_vert~~falkhi~~